Ulasan Buku ‘Filosofi Kopi’: Masihkah Relevan di Tengah Gempuran Tren Kopi Susu?

Mari kita jujur: lanskap kopi hari ini didominasi oleh satu hal—es kopi susu gula aren. Ia adalah fenomena budaya. Pesanannya cepat, rasanya manis, harganya terjangkau, dan menjadi bahan bakar utama bagi generasi hustle yang terus bergerak.

Di tengah gempuran tren serba instan dan scalable ini, mudah untuk melupakan era ketika manual brew adalah raja. Era di mana kita pertama kali belajar tentang V60, single origin, dan berdebat soal notes fruity atau nutty pada secangkir kopi hitam.

Era itu, di Indonesia, dibuka pintunya oleh "Filosofi Kopi"—kumpulan cerita dan prosa karya Dee Lestari yang ikonik.

Buku ini memperkenalkan kita pada dua sosok yang kini melegenda: Ben, si barista idealis yang perfeksionis, dan Jody, si manajer pragmatis yang memikirkan cuan. Pertanyaannya: di dunia yang kini dikuasai oleh ‘kopi susu franchise‘, masihkah filosofi Ben & Jody yang rumit itu relevan?

Jawabannya adalah: ya. Bahkan, mungkin lebih relevan dari sebelumnya.

Pertarungan Abadi: Ben vs. Jody

Jika Anda membaca kembali buku ini, Anda akan sadar bahwa "Filosofi Kopi" bukanlah sekadar buku tentang kopi. Ini adalah buku tentang dialektika bisnis yang abadi: Passion vs. Profit.

  • Ben adalah ‘Passion’. Dia adalah sang seniman. Dia percaya kopi adalah medium untuk bercerita, sebuah pencarian kesempurnaan (seperti obsesinya pada Kopi Tiwus). Baginya, kedai kopi adalah mimbar, bukan pabrik. Dia adalah ‘Why’ dari sebuah bisnis.
  • Jody adalah ‘Bisnis’. Dia adalah sang pragmatis. Dia yang pusing memikirkan biaya sewa, tagihan listrik, dan cash flow. Dia tahu bahwa idealisme Ben tidak bisa membayar gaji karyawan. Dia adalah ‘How’ agar bisnis tetap hidup.

Dua puluh tahun lalu, pertarungan mereka adalah tentang idealisme. Hari ini, Ben dan Jody adalah representasi dari pergulatan batin setiap anak muda ‘generasi hustle‘.

Setiap dari kita yang memulai startup, passion project, atau sekadar side hustle adalah gabungan dari Ben dan Jody.

Leksi untuk Generasi ‘Hustle’

Gempuran kopi susu sebenarnya adalah manifestasi dari kemenangan sisi ‘Jody’ dalam skala industri: produk yang mudah direplikasi, disukai pasar massal, dan sangat menguntungkan. Tidak ada yang salah dengan itu.

Namun, di sinilah "Filosofi Kopi" kembali berbisik relevansinya.

1. Ben Mengajarkan: ‘Passion’ adalah Pembeda

Di lautan brand kopi susu yang rasanya nyaris seragam, apa yang membuat satu brand lebih menonjol? Jawabannya adalah cerita, branding, dan ‘jiwa’—semua elemen yang diwakili oleh Ben.

Generasi hustle sering terjebak dalam metrik dan growth hacking, namun lupa bahwa fondasi bisnis jangka panjang adalah otentisitas. Ben mengingatkan kita bahwa passion bukanlah kemewahan, melainkan strategi bisnis. Tanpa ‘jiwa’ Ben, sebuah bisnis hanyalah komoditas yang menunggu untuk dikalahkan oleh harga yang lebih murah.

2. Jody Mengajarkan: ‘Passion’ Saja Tidak Cukup

Di sisi lain, Jody adalah suara realitas yang menampar. Banyak startup ‘bakar uang’ atas nama idealisme (sisi Ben yang berlebihan) dan berakhir bangkrut.

Jody mengajarkan ‘generasi hustle‘ pelajaran paling penting: idealisme perlu kemasan. Passion Anda harus bisa diterjemahkan ke dalam spreadsheet. Seberapa hebat pun kopi buatan Ben, jika Jody tidak bisa ‘menjualnya’ dan mengatur keuangannya, "Filosofi Kopi" (nama kedai mereka) akan tutup dalam sebulan.

Jody adalah pengingat bahwa hustle bukan hanya soal kerja keras (Ben juga kerja keras), tapi soal kerja cerdas—mencari titik temu antara apa yang Anda cintai dan apa yang pasar hargai.

Kesimpulan: Relevansi yang Tak Lekang

Jadi, masihkah "Filosofi Kopi" relevan? Sangat.

Buku ini tidak pernah benar-benar tentang kopi hitam melawan kopi susu. Itu hanyalah mediumnya. Buku ini adalah tentang menemukan keseimbangan yang rapuh antara menciptakan karya (idealismenya Ben) dan memastikan karya itu bisa dinikmati orang banyak (pragmatisme bisnis Jody).

Di tengah gempuran tren kopi susu, "Filosofi Kopi" justru hadir sebagai kompas. Ia tidak menyalahkan tren, namun ia bertanya kepada kita, para ‘Jody’ modern yang sibuk mengejar skala:

"Di mana ‘Ben’ dalam bisnismu? Di mana jiwamu?"

Bagi generasi hustle yang sedang membangun mimpi, keseimbangan Ben dan Jody bukanlah pilihan—ia adalah keharusan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *