Sejarah Singkat: Kisah Unik Kopi Ditemukan oleh Penggembala Kambing di Ethiopia.

Manusia, pada intinya, adalah makhluk yang terus-menerus mencari cara untuk menghindari ‘rasa sakit’. Bukan hanya rasa sakit fisik yang menusuk, tetapi juga ‘rasa sakit’ yang lebih samar namun konstan seperti kelelahan yang membebani, kabut mental di pagi hari, dan kelesuan yang menghalangi kita berfungsi penuh. Kebutuhan dasar manusia untuk merasakan less pain dalam bentuk keletihan inilah yang telah mendorong pencarian solusi energi sepanjang zaman. Kita mengunyah herbal, meminum ramuan, dan tanpa sadar, kita mencari kelegaan. Ironisnya, jawaban paling kuat untuk ‘rasa sakit’ universal ini tidak ditemukan oleh seorang alkemis jenius atau tabib kerajaan, melainkan terungkap secara tidak sengaja dalam sejarah kopi, sebuah kisah yang dimulai bukan di laboratorium, tetapi di padang rumput sunyi di Afrika.

Kisah ini membawa kita kembali ke masa lampau, sekitar abad ke-9 Masehi, di dataran tinggi Kaffa, sebuah wilayah di Ethiopia kuno. Di sinilah kopi Ethiopia pertama kali tumbuh liar, rimbun dengan semak-semak yang menghasilkan buah beri merah cerah. Dan di sinilah kita bertemu dengan pahlawan kita yang tidak disengaja: seorang penggembala kambing bernama Kaldi. Kaldi adalah seorang pria sederhana. Hidupnya dihabiskan dalam ritme yang tenang dan dapat diprediksi—menggiring kawanannya ke padang rumput, bermain seruling bambunya untuk mengusir kebosanan, dan memastikan tidak ada satu kambing pun yang tersesat.

Hari-harinya berjalan seperti itu, monoton dan damai, hingga suatu sore yang aneh.

Kaldi menyadari sesuatu yang janggal. Biasanya, kambing-kambingnya akan merumput dengan tenang atau beristirahat di bawah naungan pohon. Namun hari itu, sebagian dari kawanannya bertingkah luar biasa gaduh. Mereka melompat-lompat, berputar-putar, dan mengembik dengan energi yang meledak-ledak. Mereka tampak seperti sedang "menari". Kaldi, yang bingung sekaligus terhibur, mengamati perilaku aneh ini. Dia adalah seorang penggembala yang teliti; dia tahu ini bukan perilaku normal.

Kehidupan Kaldi yang monoton inilah yang mungkin mempertajam rasa ingin tahunya. Dia memutuskan untuk menyelidiki. Apa yang menyebabkan ledakan energi yang aneh ini? Dia mengikuti jejak kambing-kambingnya yang bersemangat dan menemukan mereka sedang berpesta, melahap buah beri merah cerah dari semak-semak yang belum pernah ia perhatikan sebelumnya. Semak-semak itu tumbuh subur di area tersebut, buahnya tampak seperti ceri kecil yang mengilap. Kaldi memandangi buah beri itu dengan curiga. Mungkinkah ini sumber dari tarian gila kawanannya?

Didorong oleh rasa penasaran yang mengalahkan kehati-hatiannya, Kaldi memutuskan untuk melakukan apa yang akan dilakukan oleh ilmuwan mana pun (atau, dalam hal ini, penggembala yang bosan): dia mencoba sendiri.

Dia memetik beberapa buah beri merah itu. Awalnya dia hanya mengunyah buahnya, merasakan daging buah yang sedikit manis. Kemudian dia mengunyah bijinya di dalam. Rasanya pahit dan tidak enak. Dia hampir meludahkannya, tetapi dia menelannya. Dia menunggu.

Pada awalnya, tidak ada yang terjadi. Dia kembali mengawasi kawanannya. Namun perlahan, sebuah sensasi baru menjalari tubuhnya. Kabut kelelahan yang biasa menemaninya di sore hari mulai terangkat. Pikirannya, yang biasanya berkeliaran, tiba-tiba menjadi tajam dan jernih. Jantungnya berdebar sedikit lebih cepat, dan gelombang energi hangat menyebar ke seluruh anggota tubuhnya. Dia tidak lagi merasa lelah. Dia tidak lagi merasa bosan.

Kaldi merasakan dorongan yang tak tertahankan untuk bergerak. Dia tertawa, lalu dia mulai melompat. Dia menari! Dia menari bersama kambing-kambingnya di dataran tinggi Ethiopia itu, dalam sebuah perayaan energi murni yang baru ditemukan. Ini adalah penemuan kopi yang pertama oleh manusia, sebuah momen euforia murni yang dipicu oleh kafein, meskipun Kaldi tidak tahu apa itu.

Merasa telah menemukan sebuah mukjizat—sebuah karunia dari surga yang bisa mengusir kelelahan—Kaldi tidak bisa menyimpan rahasia ini untuk dirinya sendiri. Dia berlari (tentu saja dengan energi barunya) menuruni bukit menuju biara terdekat. Dia membawa segenggam buah beri ajaib itu untuk ditunjukkan kepada para biksu. Dia yakin mereka akan memujinya karena menemukan sesuatu yang dapat membantu mereka tetap terjaga selama ritual doa malam yang panjang.

Namun, reaksi yang dia dapatkan jauh dari harapannya.

Para biksu di biara itu adalah orang-orang yang sangat saleh dan curiga terhadap hal-hal duniawi. Setelah mendengar cerita Kaldi tentang "kambing menari" dan energi gilanya, seorang biksu kepala mencela buah beri itu. "Ini adalah ‘Pekerjaan Iblis’!" serunya, ngeri membayangkan sesuatu yang bisa memicu kegembiraan fisik yang begitu liar. Dalam kemarahan salehnya, dia merebut buah beri itu dari tangan Kaldi dan melemparkannya ke dalam api unggun yang menyala di tengah ruangan.

Ini bisa menjadi akhir dari legenda Kaldi dan akhir dari sejarah kopi sebelum ia sempat dimulai. Buah beri itu bisa saja hangus menjadi abu, terlupakan sebagai ramuan sesat.

Tapi kemudian, sesuatu yang benar-benar ajaib terjadi.

Saat buah beri itu terbakar, biji di dalamnya mulai terpanggang. Asap mulai mengepul dari api, tetapi ini bukan asap biasa. Aroma yang kaya, pekat, dan luar biasa harum mulai memenuhi ruangan biara. Itu adalah aroma yang belum pernah ada yang cium sebelumnya—aroma surgawi yang jauh dari kata ‘iblis’. Para biksu, yang awalnya tegar dalam keyakinan mereka, kini terdiam, terpesona oleh wangi yang memabukkan itu.

Aroma itu terlalu menggoda untuk diabaikan. Keajaiban penciuman mengalahkan dogma teologis. Para biksu itu segera menyapu biji-biji yang kini hitam dan hangus itu keluar dari bara api. Mereka memadamkannya dengan tergesa-gesa, menyelamatkan apa yang tersisa. Biji-biji itu kini keras dan rapuh. Untuk melunakkannya, mereka menghancurkannya menjadi bubuk kasar.

Masih bertanya-tanya bagaimana cara mengonsumsi ‘penemuan’ baru ini, salah satu biksu mendapatkan ide. Mereka menuangkan air panas mendidih ke atas bubuk hitam itu, menciptakan minuman pekat berwarna gelap.

Mereka meminumnya.

Para biksu itu merasakan apa yang dirasakan Kaldi, tetapi dengan cara yang berbeda. Cairan hitam pekat yang pahit itu tidak hanya memberi mereka energi; itu memberi mereka fokus. Malam itu, untuk pertama kalinya, mereka mampu menjalani doa tengah malam yang panjang tanpa menguap, tanpa tertidur, dan dengan pikiran yang tetap waspada dan jernih tertuju pada Sang Pencipta.

Minuman yang tadinya dicap sebagai "Pekerjaan Iblis" itu kini dipuja sebagai "Karunia dari Tuhan". Para biksu di biara Ethiopia menjadi konsumen kopi pertama yang rutin, menggunakan minuman itu untuk membantu devosi spiritual mereka. Mereka adalah orang-orang yang menemukan metode menyeduh, mengubah asal usul kopi dari sekadar buah beri mentah menjadi minuman yang kita kenal.

Dari biara inilah pengetahuan tentang biji ajaib itu mulai menyebar.

Kabar tentang "anggur Islam" ini—sebutan karena efeknya yang merangsang tanpa memabukkan seperti alkohol—dibawa oleh para peziarah dan pedagang Sufi. Biji kopi menyeberangi Laut Merah dari Ethiopia ke Yaman di Jazirah Arab sekitar abad ke-15. Di Yaman, kopi dibudidayakan secara komersial untuk pertama kalinya. Para mistikus Sufi di Yaman-lah yang mempopulerkannya, menggunakannya dalam ritual Dhikr (zikir) mereka agar tetap terjaga semalaman.

Dari Yaman, popularitasnya meledak. Ia menyebar ke Kairo, Mekah, Damaskus, dan pada abad ke-16, telah menaklukkan Konstantinopel (sekarang Istanbul), ibukota Kekaisaran Ottoman. Kedai kopi pertama di dunia (qahveh khaneh) dibuka di sana, menjadi pusat aktivitas sosial, politik, dan intelektual. Akhirnya, melalui para pedagang Venesia, kopi menemukan jalannya ke Eropa pada abad ke-17, dan dari sana, menaklukkan dunia.

Semua industri bernilai miliaran dolar, semua kedai kopi di setiap sudut jalan, semua rapat bisnis yang didukung espresso, semua mahasiswa yang belajar semalaman dengan latte… semua itu berutang pada satu momen sederhana.

Kisah legenda Kaldi mungkin adalah campuran antara fakta dan mitos—sejarah lisan yang diceritakan berulang kali hingga menjadi indah. Tidak ada yang tahu apakah Kaldi benar-benar ada. Tetapi kebenaran intinya tetap tak terbantahkan: kopi Ethiopia adalah leluhur dari setiap biji kopi di dunia, dan penemuannya adalah sebuah kebetulan yang membahagiakan.

Lain kali Anda menyesap cangkir kopi pagi Anda, rasakan kabut mental itu terangkat dan energi itu kembali. Ingatlah bahwa Anda sedang mengambil bagian dalam ritual kuno. Berterimakasasila pada Kaldi, si penggembala kambing, dan kawanannya yang "menari"—pahlawan sejati yang, dalam pencariannya untuk menyembuhkan kebosanan, secara tidak sengaja memberi dunia solusi paling dicintai untuk ‘rasa sakit’ bernama kelelahan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *