Profil ‘Digital Nomad’: Ngobrol dengan Rizky Tentang Bagaimana Kopi Menjadi ‘Kantor’ Setianya Keliling Indonesia.

Setiap manusia lahir dengan dorongan yang melebihi sekadar bertahan hidup, makan, atau mencari rasa aman. Jauh di dalam diri kita, ada kebutuhan mendasar akan aktualisasi diri—sebuah dorongan untuk memenuhi potensi tertinggi kita, untuk merancang kehidupan yang sejalan dengan nilai-nilai otentik kita, dan untuk merasakan kebebasan sejati. Di era modern, bagi sebagian orang, aktualisasi diri tidak lagi terwujud dalam menaiki tangga korporat di satu gedung pencakar langit. Sebaliknya, ia ditemukan dalam kebebasan radikal untuk bergerak, menjelajah, dan tumbuh, tanpa harus mengorbankan karier yang telah dibangun. Inilah esensi filosofi yang dianut oleh seorang Digital Nomad.

Layar laptop 14 inci itu memantulkan siluet perahu pinisi yang sedang berlabuh. Di atas meja kayu jati yang sedikit lapuk, segelas Japanese Iced Drip Flores Bajawa mengembun, menantang panasnya matahari Labuan Bajo. Pukul tiga sore, dan Rizky (31) baru saja menyelesaikan presentasi wireframe aplikasi baru untuk kliennya di Singapura.

Tidak ada bilik kantor. Tidak ada seragam. Tidak ada kemacetan rush hour.

Rizky adalah satu dari sekian banyak profesional yang kini menyandang status Digital Nomad. Selama tiga tahun terakhir, apartemennya di Jakarta telah ia lepas. ‘Rumah’-nya kini adalah koper 70 liter dan tas ransel berisi perlengkapan kerjanya. Dan ‘kantor’-nya? Kafe mana pun di Indonesia yang memiliki dua hal: koneksi internet yang stabil dan kopi yang enak.

Kami menghubunginya via panggilan video, sebuah ironi yang pas. Dia di sebuah coffee shop di tepi pantai, saya di ruang kerja saya yang statis. Wajahnya di layar tampak santai, namun fokusnya tajam. Rizky adalah seorang Senior UI/UX Designer lepas, dan dia adalah bukti hidup bahwa remote working ekstrem bukan lagi impian, melainkan kenyataan yang bisa dijalani.

"Banyak yang salah kaprah," Rizky memulai obrolan, suaranya jernih di antara desau angin laut yang samar. "Mereka melihat foto saya di Instagram—laptop di pantai, laptop di gunung—dan berpikir ini adalah liburan permanen. Padahal, ini adalah gaya hidup digital nomad. Gaya hidup, bukan liburan. Bedanya tipis, tapi krusial."

Berawal dari ‘The Great Resignation’ Personal

Tiga tahun lalu, Rizky adalah gambaran sukses konvensional. Bekerja di sebuah startup unicorn ternama di Jakarta, gaji tinggi, tunjangan lengkap. Namun, ada kekosongan.

"Saya menghabiskan 10 jam sehari di kantor, 3 jam di jalan. Saya bekerja keras untuk ‘nanti’. Nanti bisa liburan, nanti bisa santai kalau sudah tua. Suatu hari, saya terjebak macet total di Kuningan selama dua jam, dan saya berpikir: ‘Apakah ini hidup? Apakah ini aktualisasi diri yang saya cari?’ Saya sadar, saya tidak membenci pekerjaan saya. Saya membenci sangkarnya."

Momen itu menjadi titik balik. Rizky mulai menabung gila-gilaan, membangun portofolio freelance di malam hari, dan enam bulan kemudian, dia mengambil lompatan itu. Dia menjual mobilnya, mengemas barang-barangnya, dan membeli tiket satu arah ke Bali.

"Saya takut setengah mati," akunya sambil tertawa. "Tapi ketakutan itu hilang begitu saya bekerja dari coffee shop pertama saya di Canggu. Saya menyelesaikan pekerjaan lebih cepat, dan pada jam 4 sore, saya bisa belajar surfing. Keseimbangan hidup kerja saya tidak pernah sebagus ini."

Bagaimana Kopi Menjadi ‘Kantor’ yang Setia

Kami masuk ke inti obrolan kami. Saya penasaran, bagaimana seseorang bisa tetap produktif ketika ‘kantor’-nya berganti setiap minggu?

"Banyak yang bertanya, ‘Bagaimana cara Anda mengatur rutinitas kerja sambil berpindah-pindah?’ Jawabannya adalah disiplin yang lebih kaku daripada saat saya kerja kantoran," jelas Rizky. "Justru karena saya tidak punya bos yang mengawasi, saya harus menjadi bos terkejam untuk diri saya sendiri."

Rizky membagikan sistemnya. Dia membagi harinya dengan tegas. Pukul 09.00 hingga 15.00 adalah "Deep Work". Tidak ada notifikasi media sosial, tidak ada jalan-jalan. Dia menggunakan Teknik Pomodoro: 25 menit kerja fokus, 5 menit istirahat.

"Dan coffee shop," lanjutnya, "adalah elemen kunci dari ritual ini."

Bagi Rizky, kerja di cafe bukanlah sekadar mencari Wi-Fi. Ini adalah pemicu psikologis. "Saat saya duduk di kamar hotel atau kos, otak saya masuk ke mode istirahat. Sulit untuk fokus. Tapi begitu saya melangkah masuk ke coffee shop, memesan kopi saya, dan membuka laptop… itu adalah sinyal bagi otak saya: ‘Waktunya bekerja’. Suara mesin espresso, denting cangkir, gumaman orang-orang—itu adalah ambient noise yang sempurna untuk produktivitas kerja saya."

Dia melakukan cafe hopping tidak hanya untuk menemukan kopi terbaik, tetapi untuk ‘mensimulasikan’ lingkungan kantor yang dinamis. "Ini kantor co-working saya yang tersebar di seluruh nusantara. Saya membayar ‘sewa’ harian saya dengan membeli dua atau tiga cangkir kopi dan makan siang."

Spot Ngopi Paling Berkesan: Bukan yang Paling Mewah

Selama perjalanannya, Rizky telah bekerja dari ratusan kedai kopi. Mulai dari specialty coffee shop paling estetis di Bali, kedai kopi bersejarah di Jogja, hingga roastery tersembunyi di Toraja. Saya bertanya, "Spot ngopi mana yang paling berkesan?"

Dia terdiam sejenak, menatap ke laut di belakangnya. "Ini mungkin terdengar aneh," katanya. "Bukan kafe paling mahal atau paling Instagrammable. Spot paling berkesan justru sebuah warung kopi sederhana di sebuah desa kecil di atas bukit di Sumba."

Dia bercerita. "Tidak ada mesin espresso. Tidak ada Wi-Fi, jadi saya harus tethering dari HP. Pemiliknya seorang Ibu tua yang hanya menyajikan kopi tubruk hitam pekat dengan gula aren. Tapi pemandangannya… Ya Tuhan. Bukit-bukit sabana yang menguning, kuda-kuda liar berlarian di kejauhan. Saya duduk di kursi plastik reyot, mengerjakan revisi desain yang rumit, sambil minum kopi terenak yang pernah saya rasakan, hanya karena suasananya."

Baginya, tempat itu adalah simbol dari kerja sambil liburan yang sesungguhnya. "Itu mengingatkan saya mengapa saya memilih hidup ini. Bukan untuk kemewahan, tapi untuk pengalaman otentik seperti itu."

Aroma Kopi sebagai ‘Jangkar’ di Tempat Baru

Tantangan terbesar dari gaya hidup nomaden, menurut Rizky, bukanlah pekerjaan atau perjalanan. Itu adalah kesepian dan perasaan ‘tercerabut’.

"Anda selalu menjadi orang baru," katanya pelan. "Anda mengucapkan selamat tinggal lebih sering daripada halo. Sulit untuk membangun koneksi yang dalam. Semuanya sementara."

Di sinilah peran kopi berevolusi dari sekadar ‘kantor’ menjadi ‘rumah’. Saya bertanya, "Bagaimana aroma kopi membantumu menemukan ‘rumah’ di tempat baru?"

"Itu pertanyaan yang sangat bagus," jawab Rizky. "Kopi adalah ‘jangkar’ saya. Saat saya tiba di kota baru—entah itu Pontianak, Ambon, atau Banda Neira—semuanya terasa asing. Jalanannya, bahasanya, makanannya. Saya merasa sedikit tersesat. Hal pertama yang saya lakukan adalah mencari local coffee shop."

"Dan saat saya masuk," lanjutnya, "dan saya mencium aroma biji kopi yang baru digiling, atau wangi espresso yang sedang ditarik… itu adalah aroma yang familiar. Itu adalah konstanta dalam hidup saya yang penuh variabel. Tidak peduli di mana saya berada di dunia, aroma itu sama. Itu langsung memberi saya rasa nyaman. Itu memberi saya sinyal, ‘Kamu aman di sini. Kamu bisa memulai lagi di sini.’ Kopi menjadi ‘rumah’ portabel saya."

Penutup: Kebebasan dalam Secangkir Kopi

Panggilan video kami berakhir satu jam kemudian. Rizky harus mengejar deadline sebelum menikmati matahari terbenam.

Kisah Rizky adalah cerminan dari pergeseran nilai. Generasinya tidak lagi hanya mengejar stabilitas finansial; mereka mengejar aktualisasi diri. Mereka mendefinisikan ulang apa arti ‘sukses’—dan seringkali, itu berarti kebebasan atas waktu dan lokasi.

Menjadi digital nomad seperti Rizky memang bukan untuk semua orang. Dibutuhkan keberanian, disiplin baja, dan kenyamanan dalam ketidakpastian.

Namun, ceritanya mengajarkan kita sesuatu yang universal. Bahwa ‘kantor’ tidak harus berupa gedung, dan ‘rumah’ tidak harus berupa bangunan. Terkadang, ‘kantor’ adalah suasana yang mendukung produktivitas Anda, dan ‘rumah’ adalah aroma familiar yang memberi Anda kedamaian.

Bagi Rizky, keduanya ia temukan dalam satu cangkir kopi yang setia menemaninya menjelajahi Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *