Lebih dari satu dekade lalu, sebuah buku oranye-terang meledak ke kancah global, menjanjikan sebuah utopia yang mustahil: bekerja hanya empat jam seminggu sambil menyeruput cocktail di pantai Argentina. Bagi generasi yang terkurung dalam bilik abu-abu (kubikel) dan budaya korporat 9-ke-5 yang kaku, buku ini bukan sekadar bacaan; ia adalah sebuah kitab suci pemberontakan. Namun, pada tahun 2020, dunia berubah. Pandemi global memaksa eksperimen kerja jarak jauh terbesar dalam sejarah manusia. Tiba-tiba, jutaan orang bekerja dari rumah (WFH), sebuah konsep yang dulu diperjuangkan Tim Ferriss. Ironisnya, alih-alih menemukan kebebasan 4 jam, kita justru menemukan diri kita terjebak dalam 12 jam rapat Zoom nonstop di meja makan kita sendiri. Hal ini memicu pertanyaan kritis: Dalam review buku The 4-Hour Workweek ini, apakah konsep ‘Lifestyle Design’ yang ia tawarkan masih relevan dan revolusioner, ataukah ia kini menjadi peninggalan usang dari era hustle culture pra-pandemi yang naif?
Untuk memahami relevansinya, kita harus ingat betapa radikalnya buku ini saat pertama kali terbit. Tim Ferriss memperkenalkan sebuah kosakata baru. Istilah seperti ‘Lifestyle Design’ (desain gaya hidup), ‘geo-arbitrage’ (mendapatkan penghasilan dalam mata uang kuat, tinggal di negara bermata uang lemah), dan ‘muse’ (bisnis otomatis yang menghasilkan uang pasif) terasa seperti fiksi ilmiah. Inti dari buku ini terangkum dalam akronim "DEAL": Define (Definisikan impian Anda dan berapa biayanya), Eliminate (Eliminasi hal-hal tidak penting), Automate (Otomatiskan penghasilan Anda), dan Liberate (Bebaskan diri Anda dari lokasi). Ferriss menantang keyakinan suci bahwa "pensiun" adalah sesuatu yang harus ditunggu hingga usia 65 tahun. Ia mengusulkan "pensiun-mini" yang bisa diambil sepanjang hidup, dibiayai oleh sistem otomatis. Ini adalah gagasan yang memabukkan, sebuah janji pembebasan total.
Kini, mari kita lakukan otopsi kritis. Bagian mana dari filosofi ini yang ternyata profetik dan masih berlaku—bahkan lebih kuat—di era pasca-pandemi? Bagian pertama yang paling bertahan adalah prinsip Eliminasi. Ferriss adalah seorang penginjil fanatik dari Prinsip Pareto (Aturan 80/20), yang menyatakan bahwa 80% hasil Anda berasal dari 20% usaha Anda. Ia memaksa pembaca untuk bertanya: "Apakah saya sibuk, atau saya produktif?" Di era WFH saat ini, pertanyaan ini menjadi lebih penting dari sebelumnya. Kita mungkin telah ‘dibebaskan’ dari perjalanan komuter, tetapi kita menggantinya dengan "kesibukan performatif"—selalu terlihat online di Slack, menjawab email dalam hitungan detik, dan menghadiri rapat yang seharusnya bisa diselesaikan dengan email. Ferriss menertawakan budaya ini. Argumennya bahwa Anda harus secara kejam memangkas tugas-tugas tidak penting, mendelegasikan, dan fokus hanya pada aktivitas bernilai tinggi adalah resep penangkal burnout di era WFH.
Pilar kedua yang terbukti benar adalah Otomatisasi dan Pembebasan (Liberasi). Konsep geo-arbitrage yang dulu dianggap eksklusif bagi digital nomad elit, kini menjadi kenyataan bagi banyak orang. Pandemi membuktikan bahwa banyak pekerjaan—programmer, desainer, penulis, analis—benar-benar bisa dilakukan dari mana saja. Perusahaan teknologi besar yang mengizinkan karyawan bekerja permanen dari jarak jauh telah melegitimasi pilar ‘Liberasi’ Ferriss. Orang-orang kini bisa pindah dari kota mahal seperti Jakarta atau San Francisco ke kota yang lebih terjangkau seperti Yogyakarta atau Bali, sambil mempertahankan gaji kota besar mereka. Ini adalah geo-arbitrage dalam praktiknya. Sementara itu, pilar ‘Otomatisasi’, meski bentuknya berubah, tetap relevan. Model bisnis ‘muse’ yang spesifik (seperti dropshipping suplemen kebugaran) mungkin sudah jenuh. Namun, prinsip di baliknya—menciptakan sistem yang menghasilkan pendapatan terlepas dari waktu Anda—adalah fondasi dari seluruh creator economy saat ini. Menjual kursus online, template digital, atau menjalankan agensi kecil dengan bantuan virtual assistant (VA) adalah ‘muse’ versi modern.
Namun, di sinilah kita harus bersikap kritis dan tidak menelan buku ini mentah-mentah. Ada bagian-bagian signifikan dari The 4-Hour Workweek yang terasa usang, manipulatif, dan bahkan sedikit menggelikan jika dibaca hari ini. Bagian Otomatisasi, misalnya, terlalu menyederhanakan realitas. Ferriss menulis dari puncak gelembung dot-com di mana internet adalah ‘Wild West’ dengan sedikit persaingan. "Menemukan ceruk pasar, membuat situs web sederhana, dan menjalankan iklan Google" adalah strategi yang valid di tahun 2007. Hari ini, di tahun 2025, setiap ceruk pasar dipenuhi oleh ribuan pesaing, biaya iklan digital meroket, dan membangun ‘muse’ yang benar-benar pasif membutuhkan kerja awal yang luar biasa keras—seringkali 100 jam kerja seminggu selama bertahun-tahun—sebuah ironi yang sering diabaikan oleh para pemimpi 4 jam kerja. Janji "kebebasan tanpa usaha" adalah mitos terbesar buku ini.
Bagian yang paling terasa usang adalah etos kerja yang diusungnya dalam pilar Liberasi, terutama dalam cara ‘mengakali’ atasan Anda. Buku ini menyajikan skrip-skrip licik tentang cara meyakinkan bos Anda agar mengizinkan kerja jarak jauh, cara mengelompokkan pekerjaan agar terlihat sibuk, dan cara menggunakan VA untuk membalas email kantor seolah-olah itu adalah Anda. Di era pasca-pandemi di mana fleksibilitas, kepercayaan, dan transparansi menjadi mata uang baru dalam hubungan kerja, saran-saran ini terasa seperti taktik seorang penipu. Pendekatan "saya vs. mereka" (karyawan vs. perusahaan) yang diusung Ferriss terasa kuno. Dunia kerja modern bergerak menuju kemitraan yang fleksibel, bukan permainan kucing-dan-tikus tentang siapa yang bisa bekerja paling sedikit tanpa ketahuan.
Jadi, di sinilah letak relevansi sesungguhnya dari The 4-Hour Workweek hari ini. Pandemi secara paksa memberi kita bagian ‘Liberasi’ (kebebasan lokasi/WFH), tetapi sebagian besar dari kita gagal menerapkan bagian ‘Eliminasi’ (fokus pada 20% yang penting) dan ‘Otomatisasi’ (membangun sistem). Akibatnya, kita mendapatkan skenario terburuk dari kedua dunia: kita terisolasi di rumah dan bekerja lebih lama dari sebelumnya. Kita memiliki fleksibilitas lokasi, tetapi tidak memiliki fleksibilitas waktu. Rantai digital kita ke laptop sama kuatnya dengan rantai fisik kita ke bilik kantor.
Buku ini, oleh karena itu, harus dibaca bukan sebagai buku panduan harfiah untuk bekerja 4 jam seminggu. Itu adalah judul yang provokatif, sebuah gimmick pemasaran yang jenius. Buku ini harus dibaca sebagai sebuah manifesto filosofis tentang kedaulatan waktu. Nilai terbesarnya bukanlah pada taktik dropshipping yang sudah kedaluwarsa, melainkan pada pertanyaannya yang abadi: "Mengapa kita bekerja?" dan "Apakah hasil yang saya kejar sepadan dengan kehidupan yang saya korbankan untuk mendapatkannya?" Era WFH fleksibel tidak membuat buku ini usang; justru membuatnya menjadi bacaan wajib. Buku ini adalah peta jalan yang hilang untuk memperbaiki model WFH kita yang rusak—untuk beralih dari sekadar ‘bekerja dari rumah’ menjadi ‘merancang kehidupan’ yang sesungguhnya.
Pada akhirnya, The 4-Hour Workweek bukanlah tentang menjadi malas atau menghindari kerja keras. Buku ini adalah tentang sebuah pemberontakan personal terhadap definisi sukses yang diwariskan. Daya tariknya yang abadi tidak terletak pada janji kekayaan yang mudah atau liburan tanpa akhir. Daya tariknya terletak pada pemahaman bahwa waktu adalah aset kita yang paling terbatas dan tidak dapat diperbarui. Mengejar ‘desain gaya hidup’ adalah tentang merebut kembali kendali atas aset tersebut. Ini adalah tentang membeli kebebasan untuk memilih bagaimana kita menghabiskan hari-hari kita yang berharga, memberi kita ruang untuk mengejar apa yang memberi kita makna—entah itu membesarkan anak, mempelajari keterampilan baru, berkeliling dunia, atau membangun warisan. Ini adalah tentang menciptakan kehidupan di mana kita tidak lagi hanya bereaksi terhadap tuntutan dunia, tetapi secara aktif membentuk realitas kita sendiri sesuai dengan nilai-nilai terdalam kita.
