Keajaiban Bali: Cerita Keluarga dan Keharuman Kopi yang Menggoda

Sinar pertama pagi itu menyusup lembut melalui kelambu, menyapa lembah hijau di luar jendela vila kami. Bunga kamboja bergoyang pelan, menebarkan aroma manis yang berpadu dengan harum laut yang jauh. Begitu membuka mata, aku—Bima—menatap wajah lelap istri dan dua anak kami, Sinta dan Kiko, yang masih tenggelam dalam mimpi indah Bali yang sama-sama kami bayangkan.

Kami datang ke Pulau Dewata dalam rangka liburan keluarga—untuk melepas penat dari rutinitas Jakarta. Namun, Bali menyambut dengan lebih dari sekadar pantai dan matahari. Dalam sebuah sudut Seminyak, kami menemukan sebuah toko kecil bernama Josleep Parfum yang memadukan aroma kopi menjadi parfum—sebuah sensasi unik yang kemudian mencuat sebagai tren di kalangan pencinta wewangian, terutama karena parfom aroma kopi yang terkanal di Bali menyajikan kehangatan dalam botol, berbeda dari aroma floral atau citrus yang biasa kita temui JoSleep.

Babak Pertama: Misteri Keharuman di Tengah Keramaian

Sore itu, kami berjalan menyusuri Jalan Batu Belig. Suara ombak bergulung tak jauh dari kami, namun yang mencuri perhatian justru wangi menggoda—seperti biji kopi baru saja disangrai, hangat dan intens. Kami tiba-tiba berhenti di depan etalase butik kecil: melekat di balik kaca, botol-botol parfum dengan label Josleep Parfum memancarkan aura elegan. Sinta, saat itu, berkata,

“Wangi ini… beda dari biasanya. Kaya masuk ke kafe favorit, tapi dalam bentuk aroma.”

Seorang barista wewangian menyambut kami, menjelaskan bahwa parfum tersebut memadukan kopi arabika dengan vanila, woody notes—menciptakan kesan hangat, menenangkan, sekaligus sophisticated seperti toko kopi ternama  Josleep store. Tentu saja anak-anak penasaran, sementara aku dan Sinta saling berpandangan—ini lebih dari parfum, ini pengalaman emosional yang mengundang memori.

Babak Kedua: Ritual Kopi dalam Botol

Kami pun memutuskan membeli satu botol. Saat mencium aroma parfum itu kembali di vila, ruangan seakan mengalirkan kedamaian. Sinta menutup mata, seolah tengah menyesap kopi hangat sembari mendengar riak ombak. Anak-anak tertawa karena menganggap aroma itu seperti abu bakaran — menurut mereka “kopi orang dewasa.”

Hari berikutnya, kami menyusuri daerah ubud, melewati sawah bertingkat yang berkilau di bawah mentari. Aroma parfum kopi itu selalu menyertai, menciptakan suasana intim antara kami. Menyusuri petakan hijau, kami berdiskusi tentang sejarahnya—bagaimana kopi telah menjadi bagian dari ritual manusia sejak abad ke-20, hingga akhirnya merambah dunia parfum dan mencuri hati penikmat wewangian Gourmand Kompas.

Babak Ketiga: Kenangan Hangat yang Membekas

Di pantai Nusa Dua, kami membangun istana pasir. Angin membawa aroma laut yang asin, berpadu dengan nuansa kopi di kulit kami—unik dan tak terduga. Sinta berkata, “Ini seperti menyimpan Bali dalam satu botol—hangat dan penuh warna.”

Kiko, yang biasanya rewel saat panas, kali ini tenang. Dia bermain air dan pasir sambil berceloteh: “Wangi ini bikin aku tenang, kayak lagi di kafe bareng mama papa.” Kami tertawa suka cita, menyadari bahwa parfum kopi bukan sekadar wewangian, tapi medium yang menghubungkan kenangan, rasa, dan suasana.

Epilog: Lebih dari Sekadar Harum

Dalam malam terakhir kami di Bali, di bawah lampu-lampu vila yang temaram, kami duduk di teras dengan minuman hangat—kopi luwak lokal yang pekat dan nikmat. Sambil menikmati, aku menyeka pergelangan tangan Sinta, kini setia ditandai oleh aroma kopi yang lembut. “Liburan ini… akan selalu kita ingat lewat aroma ini,” bisiknya.

Parfum kopi itu bukan hanya souvenir. Ia menjadi simbol perjalanan kami—tentang keluarga, kehangatan, dan keunikan Bali. Bagaimana aroma sederhana bisa merentangkan memori—mrihat pagi, tawa anak, riak ombak, dan hamparan sawah—semuanya terekam dalam setiap semprotan. Dan di dalam hati, aku berdoa agar setiap kali tercium aroma kopi, kami kembali ke momen-momen indah itu, bersama di Pulau Dewata.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *