Aroma kopi single origin yang baru diseduh menyeruak pekat, berpadu dengan alunan musik jazz instrumental yang samar-samar. Di sudut ruangan, suara ketukan keyboard terdengar ritmis, menciptakan simfoni produktivitas yang menenangkan. Inilah ekosistem ideal dari sebuah kafe di hari kerja. Saya menyesap cappuccino saya, bersiap melanjutkan draf laporan.
Lalu, kedamaian itu pecah.
"OKE, PAK! JADI UNTUK Q4 INI KITA HARUS PUSH TARGETNYA, YA! SAYA SUDAH BILANG KE TIM…"
Suara itu datang dari seorang pria di meja besar, sebut saja Bima. Dia sedang melakukan video call—tanpa earphone. Seluruh kafe kini terpaksa mendengarkan strategi bisnisnya yang brilian. Tak hanya itu, tas laptopnya diletakkan di satu kursi, jaketnya di kursi lain, sementara dia sendiri duduk di kursi ketiga. Dia telah ‘menguasai’ meja untuk enam orang sendirian. Di depannya, tergeletak cangkir espresso yang sudah kosong setidaknya dua jam lalu.
Para barista saling pandang. Beberapa pelanggan, termasuk saya, mulai gelisah. Bima adalah representasi sempurna dari apa yang salah dengan fenomena Work From Cafe.
Selamat datang di era budaya kerja fleksibel. Fenomena WFC atau Work From Cafe telah meledak, mengubah kedai kopi dari sekadar tempat singgah minum menjadi ‘kantor ketiga’ bagi para freelancer, startup founder, dan karyawan remote working. Ini adalah sebuah simbiosis yang indah: kita mendapatkan suasana baru yang merangsang produktivitas kerja, dan kafe mendapatkan pelanggan di jam-jam sepi.
Namun, simbiosis ini rapuh. Kafe adalah bisnis, bukan ruang kerja bersama (co-working space) gratis atau perpustakaan umum. Ada batas tipis antara menjadi pelanggan yang produktif dan menjadi parasit yang mengganggu.
Jika Anda ingin terus menikmati kemewahan bekerja sambil menyeruput latte art yang cantik, ada beberapa etika work from cafe tak tertulis yang wajib Anda kuasai. Ini bukan hanya soal kesopanan; ini soal kelangsungan hidup ekosistem WFC itu sendiri.
Berikut adalah 10 aturan emas agar Anda tetap produktif, disukai barista, dan tidak diusir secara halus.
1. Bayar ‘Sewa’ Anda: Beli, dan Beli Lagi
Mari kita luruskan satu hal: saat Anda duduk berjam-jam di kafe, Anda tidak hanya membeli kopi. Anda sedang "menyewa" properti komersial. Anda menggunakan listrik, Wi-Fi, pendingin ruangan, dan yang terpenting, tempat duduk yang bisa diisi oleh pelanggan lain.
Aturan praktis yang paling umum adalah satu pesanan untuk setiap 1.5 hingga 2 jam. Jika Anda berencana untuk camping seharian penuh, memesan satu Iced Americano seharga 30 ribu Rupiah dan mendudukinya selama enam jam adalah tindakan yang tidak etis. Itu sama saja dengan membayar sewa kantor 5 ribu Rupiah per jam.
Cara kerja di cafe yang benar adalah dengan menjadi pelanggan yang menguntungkan. Jika sudah lebih dari dua jam, pesanlah kopi kedua. Jika sudah mendekati jam makan siang, pesanlah makanan. Anggap saja ini sebagai "biaya sewa" Anda. Kafe yang sehat secara finansial adalah kafe yang akan terus ada untuk Anda bekerja besok.
2. Sadar Teritorial: Jangan Menjajah Meja Besar
Kembali ke Bima. Kesalahan terbesarnya (selain polusi suara) adalah pemilihan mejanya. Di jam sibuk, melihat satu orang membentangkan laptop, notebook, dan mousepad di atas meja yang dirancang untuk empat atau enam orang adalah pemandangan yang menyakitkan bagi pemilik kafe.
Pilihlah tempat duduk Anda dengan bijak. Jika Anda datang sendirian, carilah meja kecil untuk satu atau dua orang, atau duduklah di meja bar. Meja besar adalah aset berharga yang dicadangkan untuk grup. Mengambilnya sendirian, terutama saat jam makan siang atau akhir pekan, sama saja dengan mencuri potensi pendapatan kafe. Pengecualian? Jika kafe benar-benar sepi. Tapi begitu keramaian mulai datang, bersiaplah untuk pindah atau berbagi meja.
3. Colokan Listrik Bukan Hak Asasi Pelanggan
Dalam dunia WFC, stopkontak adalah harta karun. Namun, ketersediaannya adalah fasilitas, bukan hak. Pertama, cara kerja di cafe yang paling profesional adalah datang dengan baterai laptop penuh. Jangan mengandalkan kafe untuk menghidupi perangkat Anda.
Kedua, jika Anda harus mengisi daya, lakukan dengan sopan. Jangan menarik kabel melintasi jalur lalu lalang—itu bahaya tersandung. Jangan pernah, sekali pun, mencabut kabel milik kafe (seperti lampu hias, kulkas display, atau mesin kasir) untuk mencolokkan pengisi daya Anda. Jika semua colokan penuh, terimalah nasib Anda atau tanyakan baik-baik kepada staf.
4. Investasi Wajib: Earphone atau Headphone Berkualitas
Ini adalah dosa kardinal dalam etika work from cafe. Tidak ada seorang pun yang ingin mendengar playlist Spotify Anda, video tutorial YouTube yang sedang Anda tonton, atau notifikasi obrolan Anda yang terus berbunyi.
Dunia modern telah menemukan alat ajaib bernama earphone. Gunakan itu. Dan pastikan earphone Anda tidak "bocor"—jenis earphone yang musiknya masih bisa terdengar jelas oleh orang di meja sebelah. Jika Anda harus mendengarkan audio, itu harus menjadi pengalaman pribadi Anda, bukan pengalaman seluruh ruangan. Ini adalah bentuk penghormatan paling dasar terhadap orang lain yang juga mencari fokus.
5. Aturan Emas Video Call: Menjauhlah Saat Bicara
Ini adalah lanjutan dari poin sebelumnya, tetapi butuh penekanan khusus. Bahkan jika Anda memakai earphone, ingat: Anda masih berbicara. Saat sedang rapat online, kita secara alami akan berbicara lebih keras dari volume normal.
Suara rapat Anda adalah gangguan di cafe yang paling menyebalkan. Orang lain datang ke kafe untuk menghindari kebisingan kantor, bukan untuk mendengarkan rapat kantor Anda. Jika Anda harus menerima telepon atau bergabung dalam video call yang membutuhkan banyak bicara, lakukan di luar kafe. Berdirilah di teras atau area outdoor. Jika rapatnya akan berlangsung satu jam, kafe bukanlah tempat yang tepat untuk Anda hari itu.
6. Jaga Kebersihan ‘Kantor’ Anda
Barista adalah profesional di bidang kopi, bukan asisten rumah tangga pribadi Anda. Saat Anda bekerja, Anda pasti menghasilkan ‘sampah’: sedotan bekas, bungkus gula, remah-remah croissant, dan beberapa lembar tisu.
Jangan biarkan meja Anda terlihat seperti sarang yang meledak. Jaga area Anda tetap rapi. Saat Anda selesai, kumpulkan sampah Anda. Letakkan cangkir, piring, dan sendok garpu Anda di satu nampan (jika disediakan) atau setidaknya kumpulkan di satu titik agar mudah diangkat oleh staf. Sikap sederhana ini menunjukkan rasa hormat yang luar biasa.
7. Jangan Gunakan Kursi Lain Sebagai Rak Tas
Saya sering melihat ini: kafe mulai ramai, orang-orang mencari tempat duduk, dan ada satu kursi kosong yang sempurna di sebuah meja. Ah, tapi tunggu dulu, ada tas tangan atau ransel laptop di atasnya.
Kursi adalah untuk pelanggan, bukan untuk barang bawaan Anda. Saat kafe sedang sepi, silakan saja. Tetapi begitu tempat itu mulai terisi, letakkan tas Anda di lantai di bawah meja Anda atau di pangkuan Anda. Menggunakan kursi tambahan sebagai rak tas di jam sibuk adalah tindakan egois.
8. Pahami Ritme Kafe: Waspadai Jam Sibuk
Setiap kafe memiliki ‘jam emas’—waktu di mana mereka menghasilkan sebagian besar pendapatan harian mereka. Biasanya ini adalah jam sarapan (8-10 pagi) dan jam makan siang (12-2 siang).
Jika Anda telah duduk di sana sejak pagi dengan satu cangkir kopi, dan jam makan siang tiba, Anda memiliki dua pilihan etis:
- Pesan makan siang. Berkontribusilah pada pendapatan jam sibuk mereka.
- Tutup laptop Anda dan pergi. Berikan meja Anda kepada pelanggan yang ingin makan.
Menjadi ‘penghuni tetap’ yang tidak memesan apa-apa selama jam sibuk adalah cara tercepat untuk membuat staf membenci Anda. Produktivitas kerja Anda jangan sampai membunuh profitabilitas mereka.
9. Pilih ‘Medan Perang’ Anda dengan Tepat
Tidak semua kafe diciptakan sama. Sebelum Anda membongkar ‘kantor portabel’ Anda, luangkan waktu sebentar untuk membaca situasi. Apakah ini kedai espresso bar kecil dengan tiga meja yang ditujukan untuk obrolan cepat? Apakah ini restoran fine dining yang kebetulan menyajikan kopi? Jika ya, ini bukan tempat untuk WFC.
Carilah kafe terbaik untuk kerja. Biasanya kafe ini memiliki ciri-ciri: Wi-Fi yang diiklankan, banyak colokan listrik, meja komunal yang besar, atau bahkan area khusus "zona tenang". Memilih kafe yang tepat yang memang dirancang (atau setidaknya mentolerir) pekerja jarak jauh adalah kunci kesuksesan WFC.
10. Interaksi Emas: Senyum, ‘Tolong’, dan ‘Terima Kasih’
Aturan ini terdengar sepele, tetapi ini adalah yang paling kuat. Staf kafe adalah manusia. Mereka berurusan dengan pelanggan yang rewel, tumpahan kopi, dan tuntutan tanpa henti sepanjang hari.
Jangan hanya menggeramkan pesanan Anda sambil mata terpaku pada layar laptop. Lepaskan earphone Anda saat memesan. Lakukan kontak mata. Ucapkan "tolong" saat meminta sesuatu (bahkan jika itu hanya password Wi-Fi) dan ucapkan "terima kasih" saat pesanan Anda tiba. Berikan senyuman.
Seorang pelanggan yang ramah dan sopan yang mungkin duduk sedikit lebih lama (tapi tetap memesan secara teratur) akan selalu lebih diterima daripada pelanggan kaya raya yang kasar dan menuntut. Barista akan mengingat Anda sebagai "pelanggan yang baik", bukan sebagai "pria laptop yang menyebalkan itu".
Epilog: Nasib Si Bima
Bagaimana dengan Bima, pahlawan kita di awal cerita?
Setelah 15 menit panggilannya yang menggelegar, manajer kafe akhirnya mendekatinya. Dengan senyum yang sangat sopan namun tatapan mata yang tegas, sang manajer berkata pelan, "Maaf, Mas. Apakah bisa panggilannya dilanjutkan di luar? Suaranya cukup mengganggu tamu yang lain."
Bima tampak terkejut, lalu sedikit malu, lalu terlihat kesal. Dia menutup laptopnya dengan kasar, mengemasi barang-barangnya yang tersebar di tiga kursi, dan pergi tanpa memesan apa pun lagi.
Saat pintu ditutup di belakangnya, keheningan yang melegakan menyelimuti kafe, sebelum akhirnya simfoni ketukan keyboard dan denting cangkir kembali terdengar. Ekosistem telah pulih.
Fenomena Work From Cafe adalah sebuah hak istimewa, bukan hak mutlak. Itu adalah tarian sosial yang rumit antara kebutuhan kita akan ruang dan kebutuhan bisnis untuk bertahan hidup. Dengan mengikuti etika tak tertulis ini, Anda tidak hanya memastikan produktivitas kerja Anda sendiri, tetapi Anda juga membantu menjaga agar pintu kafe favorit Anda tetap terbuka—dan selalu menyambut Anda dengan senyuman.